Oleh : M. Saifudin Hakim

Orang musyrik zaman dahulu sangat paham dengan makna kalimat tauhid

Orang-orang musyrik, ketika mereka diminta untuk mengucapkan kalimat tauhid laa ilaaha illallah, mereka menolak dengan sangat keras. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerukan kepada mereka untuk mengucapkan“laa ilaaha illallah”, maka mereka menolak untuk mengatakan kalimat tersebut sambil mengatakan,

أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ ؛ وَانْطَلَقَ الْمَلَأُ مِنْهُمْ أَنِ امْشُوا وَاصْبِرُوا عَلَى آلِهَتِكُمْ إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ يُرَادُ

 “’Mengapa ia menjadikan sesembahan-sesembahan itu sebagai sesembahan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.’  Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata), ’Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) sesembahan-sesembahanmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki’.” (QS. Shaad [38]: 5-6)

Ternyata Orang Musyrik Zaman Dahulu Lebih Paham Makna Kalimat Tauhid

Marilah kita merenungkan, mengapa kaum musyrik menolak untuk mengatakan kalimat tersebut? Penolakan mereka untuk menyambut seruan dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut tidak lain adalah karena mereka memahami makna kalimat laa ilaaha illallah tersebut dengan benar. Mereka mengetahui bahwa orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah, dia harus memenuhi syarat-syaratnya sebelum mengucapkannya. Karena mereka adalah orang-orang yang mengerti bahasa Arab dengan baik. Mereka juga memahami bahwa ketika mereka mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah, maka berarti dia telah bersaksi bahwa segala jenis peribadatan mereka kepada berhala-berhala mereka adalah peribadatan yang batil. Mereka juga harus melepaskan segala ketergantungan hati sanubari mereka kepada semua sesembahan selain Allah Ta’ala. Dan mereka harus menujukan segala aktivitas ibadah mereka hanya kepada Allah Ta’alsaja. Oleh karena konsekuensi-konsekuensi itulah, mereka pun menolak untuk mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah. (Lihat At-Tanbihaat Al-Mukhtasharah, hal. 34)

Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman menceritakan kisah mereka,

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ ؛ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ

 “Sesungguhnya mereka dahulu, apabila dikatakan kepada mereka, ’Laa ilaaha illallah’, mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata, ’Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair gila?’” (QS. Ash-Shafat [37]: 35-36)

Dari jawaban kaum musyrikin tersebut, terlihat jelas bahwa mereka telah memahami bahwa makna kalimat laa ilaaha illallah menuntut mereka untuk meninggalkan segala jenis peribadatan kepada selain Allah, dan mengesakan Allah Ta’ala dalam seluruh aktivitas ibadah yang mereka lakukan. Seandainya mereka mau mengucapkannya, dan di sisi lain mereka tidak mau meninggalkan sesembahan-sesembahan mereka selain Allah Ta’ala tersebut, tentu hal ini sangatlah kontradiktif. (Lihat Haqiqatu laa ilaaha illallah, hal. 111-114)

Bukti lain yang menunjukkan bahwa orang musyrik memahami makna kalimat “laa ilaaha illallah” dengan benar adalah kisah meninggalnya Abu Thalib. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Thalib untuk mengucapkan “laa ilaaha illallah”, maka Abu Jahal bin Hisyam dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughirah yang saat itu juga berada di sisi Abu Thalib mengatakan,

أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ

“Apakah Engkau membenci agama Abdul Muthallib?” (HR. Bukhari no. 1360 dan Muslim no. 141)

Perkataan ini menunjukkan bahwa mereka telah memahami, apabila Abu Thalib sampai mengucapkan kalimat tersebut, maka berarti terlepaslah dari dalam hati sanubarinya segala bentuk sekutu dan berhala, dan menujukan ibadah semuanya hanya kepada Allah Ta’ala saja. (Lihat At-Tanbihaat Al-Mukhtasharah, hal. 34)

Oleh karena itu, Syaikh Muhammad At-Tamimy rahimahullah mengatakan,

”Orang kafir jahiliyyah mengetahui bahwa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kehendaki dengan kalimat ini (yaitu ‘laa ilaaha illallah’, pen.) adalah mengesakan Allah Ta’ala dengan menyandarkan hati kepada-Nya dan mengingkari serta berlepas diri dari sesembahan selain-Nya. Buktinya, ketika dikatakan kepada mereka, ’Katakanlah laa ilaaha illallah!’  Mereka menjawab (yang artinya), ’Mengapa ia menjadikan sesembahan-sesembahan itu sebagai sesembahan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan’  (QS. Shaad [38] : 5).” (Lihat At-Taudhihat Al-Kaasyifat ‘ala Kasyfi Asy-Syubuhat, hal. 100)

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah menjelaskan,

”Abu Jahal pun memahami kalimat ini (dengan benar, pen.), meskipun dia sendiri enggan untuk mengucapkannya. Apabila maknanya adalah, “Tidak ada sesembahan selain Allah”, sebagaimana persangkaan kebanyakan masyarakat saat ini dan masyarakat sebelum mereka, maka tentu dia akan mengatakannya dengan mudah meskipun dia tidak memahami makna yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi, orang-orang musyrik jahiliyyah memahami bahwa makna kalimat tersebut adalah, ’laa ma’buuda haqqun illallah’ [tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah] dan sesungguhnya segala peribadatan kepada selain Allah hanyalah kezaliman.” (Lihat At-Tamhiid, hal. 78)

Orang musyrik jaman sekarang tidak paham dengan makna kalimat tauhid

Pemahaman yang dimiliki oleh orang-orang musyrik tersebut seolah-olah membantah apa yang dipahami oleh para pemuja kubur zaman sekarang ini dan yang semisal dengan mereka, bahwa makna kalimat “laa ilaaha illallah” adalah bersaksi bahwa Allah Ta’ala itu ada, atau bahwa Allah-lah Yang Maha mencipta dan Maha mengatur segala urusan, atau makna-makna yang semisal dengan itu. Mereka menyangka bahwa barangsiapa yang telah meyakini hal tersebut, berarti dia telah mewujudkan tauhid dalam dirinya. Meskipun mereka juga menujukan ibadah mereka kepada selain Allah Ta’alameminta kepada orang-orang shalih yang telah mati, serta mendekatkan diri kepada mereka dengan menyembelih dan bernadzar untuk mereka, atau mengelilingi (thawaf) kubur mereka dan mencari berkah (tabarruk) dengannya. (Lihat Haqiqatu laa ilaaha illallah, hal. 112)

Demikianlah kondisi dan realita kaum muslimin saat ini. Mereka memang sangat gemar untuk mengucapkan dzikir laa ilaaha illallah. Ini memang suatu hal yang sangat baik dan terpuji, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ

”Dzikir yang paling utama adalah bacaan laa ilaha illallah.” [2]

Namun sayang, mereka tidak memiliki pemahaman yang benar terhadap kalimat tersebut. Sehingga mereka juga melakukan berbagai hal yang bertentangan dengan apa yang diucapkannya. 

Inilah perbedaan kaum musyrik zaman dahulu dengan sekarang. Kaum musyrik zaman dahulu, mereka memahami makna kalimat “laa ilaaha illallah” dengan pemahaman yang benar. Sehingga mereka menolak untuk mengucapkannya karena mengingkari makna dan konsekuensinya. Akan tetapi, kaum musyrik zaman sekarang ini, mereka sangat gemar untuk mengucapkan dzikir “laa ilaaha illallah”. Namun mereka tidak mengetahui dengan benar apa yang dimaksud dengan kalimat tersebut. Sehingga di satu sisi mereka mengucapkan “laa ilaaha illallah”, namun di sisi lain mereka juga tetap melakukan berbagai aktivitas ibadah yang ditujukan kepada selain Allah Ta’ala. Inilah kondisi kaum muslimin saat ini yang sangat menyedihkan bagi kita semua.

Ketika menjelaskan realita tersebut, Syaikh Muhammad At-Tamimy rahimahullah berkata,

”Jika kamu sudah mengetahui bahwa orang kafir jahiliyyah mengetahui yang demikian itu (bahwa laa ilaha illallah bermakna tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, pen.), maka sungguh sangat mengherankan di mana para da’i yang mendakwahkan Islam tidak mengetahui tafsir (yang benar) dari kalimat ‘laa ilaha illallah’ sebagaimana yang diketahui oleh orang kafir jahiliyyah. Bahkan mereka mengira bahwa ‘laa ilaha illallah’  cukup diucapkan saja tanpa perlu meyakini maknanya. Dan pakar ahli (yaitu orang-orang pintar dari ahli kalam dan ahli bid’ah, pen.) di antara mereka pun menyangka bahwa makna ‘laa ilaha illallah’ adalah tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta kecuali Allah. Maka tidak ada satu pun kebaikan pada seseorang di mana orang kafir jahiliyyah lebih mengetahui dari dirinya mengenai makna ‘laa ilaha illallah’.” (Lihat At-Taudhihat Al-Kaasyifat ‘ala Kasyfi Asy-Syubuhat, hal. 101)

Demikianlah sangat disayangkan sekali, para cendekiawan muslim dan para da’i yang mengajari umat tentang Islam banyak yang tidak memahami ‘laa ilaha illallah’ sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang musyrik. Dan kebanyakan pakar Islam sendiri –yang kebanyakan adalah ahli kalam (ahli filsafat)- hanya memaknai kalimat ‘laa ilaha illallah’ dengan ‘tidak ada pencipta selain Allah’, atau ‘tidak ada pengatur alam semesta selain Allah’, atau ‘tidak ada pemberi rizki selain Allah’. Padahal tafsir tersebut hanya terbatas pada sifat rububiyyah Allah Ta’ala saja. Lalu apa kelebihan mereka dari orang-orang musyrik dahulu? Maka renungkanlah hal ini.